Mnukwar, 16 April 2009
“Otonomi Khusus (selanjutnya disebut Otsus) adalah - salah satu - bentuk desentralisasi asimetris, yakni pendekatan desentralisasi yang membedakan derajat desentralisasi antar unit pemerintahan. Pemberian otsus oleh pemerintah pusat adalah fenomena biasa saja, sama sekali tidak istimewa dan tidak membahayakan integritas suatu negara.” (Ahli Otsus dari Universitas Guelph, Gabrielle Ferrazzi)
Oleh Patrix Barumbun Tandirerung (1)
Di banyak negara otsus sudah banyak diterapkan. Yang menonjol adalah Spanyol yang memiliki 17 komunitas otonom. Dalam prakteknya otsus memang lebih sulit dikelola karena kompleks dan oleh karenanya membutuhkan kapasitas yang tinggi dari pemerintah pusat.
Pendapat Ferrazzi di atas merupakan kritik terhadap pandangan bahwa otsus adalah praktik luar biasa yang membahayakan dan berpotensi menjadi jembatan menuju pemisahan diri. Secara teoretis dan praktik, otsus tidak pernah memberi ruang untuk kemungkinan pemisahan diri. Yang biasa terjadi adalah instabilitas politik (tuntutan kemerdekaan) dapat diatasi, optimisme dan suasana politik kondusif meningkat dan akhirnya kualitas integrasi suatu negara meningkat.
Pelajaran tentang kemajuan Aceh pasca MOU Helsinki bahwa secara kelembagaan Provinsi Aceh memiliki kekhususan seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Selain partai nasional, Aceh juga memiliki partai lokal misalnya Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Rakyat Aceh, dan lain-lain. Inovasi berbagai lembaga baru ini menciptakan arena baru bagi setiap kelompok strategis di Aceh untuk ikut berperan di dalam dinamika sosial dan politik yang menentukan masa depan Aceh.
Otsus Papua juga menghasilkan lembaga unik Majelis Rakyat Papua (MRP). Tapi tidak seperti Aceh, meskipun disebutkan dalam UU 21/2001 tentang pembentukan partai lokal (parlok), namun di Papua dan Papua Barat belum ada wacana “kuat” tentang rencana pembentukan partai lokal baik dari DPRP, pemerintah provinsi, maupun MRP. Kecuali wacana soal pembentukan MRPB yang kemudian ditentang keras oleh Dewan Adat Papua dan Presidium Dewan Papua (2)
Kesan yang muncul dari pendapat Pimpinan partai lokal di Aceh bahwa keberadaan partai lokal menjadi sarana pendidikan politik yang sangat baik untuk penduduk lokal. “Saya percaya bahwa keberadaan Parlok memberi warna menarik dan positif bagi politik Indonesia. Tidak ada tanda sedikit pun bahwa parlok akan menjadi alat baru separatisme.” Demikian keyakinan Muridan S. Widjojo, Peneliti LIPI, yang ditulis dalam blognya (3)
Kelebihan terpenting Aceh adalah posisi politiknya sudah pada tahap pasca konflik berkat dialog Helsinki 2005. Segala hambatan, seperti gugatan apakah Aceh menjadi bagian dari Indonesia, sudah selesai sehingga langkah-langkah menuju Aceh baru sudah bisa dimulai. Sedangkan Situasi Papua, Sebut Muridan, berbeda. Katanya, “Kita belum bisa mengatakan bahwa Papua sudah berada pada tahap pasca konflik. Papua masih ada dan bersama Jakarta terjebak di dalamnya.”
Energi sosial dan politik Aceh kini diarahkan sepenuhnya pada masa depan: kerja-kerja politik, pengorganisasian, penguatan akar rumput, dan pembangunan oleh dan bagi semua rakyat Aceh. Di Aceh kita melihat lompatan jauh daripada bagian Indonesia yang lain. Papua tertinggal puluhan langkah dari Aceh. Bisa jadi, dalam kerangka ber- NKRI, dengan caranya sendiri Papua bisa mengikuti jejak Aceh.
Sebuah Situs berita di Internet menyebut, Rabu (19/4), Deklarator (yang juga ketua) Partai Kebangkitan Rakyat Papua (PKRP) - partai lokal di Papua, Yusak Andatu, menemui mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk meminta dukungan, agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) mengenai pembentukan partai politik lokal di Papua.
Menurut Andatu, hal itu sejalan dengan semangat UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dalam Pasal 28 UU Otsus Papua yang menyatakan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Andatu berpendapat, Sebenarnya yang dimaksud dalam UU itu adalah partai politik lokal. Namun, “lokal” hilang sehingga menjadi rumusan seperti dalam UU itu.
Ketentuan UU Otsus itu, lanjutnya, menjustifikasi pembentukan partai lokal di Papua. Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah bisa merespons hal itu dengan membuat PP Partai Lokal di Papua.
Indikasi kalau yang dimaksud Pasal 28 adalah partai lokal, katanya, dipertegas dengan rumusan lebih lanjut, dimana tatacara keikutsertaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekruitmen politik partai masing-masing.
Dalam berita yang sama, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Depdagri Saut Situmorang yang dimintai tanggapan mengatakan Depdagri sedang mengkaji berbagai aturan mengenai hal itu. Sebab, UU itu tidak secara tegas menyatakan pembentukan partai lokal. Katanya, “UU Otsus Papua tidak eksplisit mengatur partai lokal. Ini yang harus dikaji dengan mempertimbangkan peraturan yang ada.”
Wacana Pembentukan parlok, juga dihembuskan Nicholas Jouwe, salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka. Bahkan ia mendesak pemerintah mengizinkan berdirinya partai lokal di Papua.Menurut Jouwe, “Partai lokal dinilai menjadi solusi damai antara OPM dan pemerintah.” (4)
PARLOK : DEMOKRASI ATAU DISINTEGRASI?
Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 secara politik merupakan sebuah kemajuan yang signifikan bagi penyelesakan konflik yang telah lebih dari 30 tahun membara.
Penurunan derajat tuntutan GAM dari keinginan merdeka kemudian menyepakati Aceh tetap dalam ruang lingkup NKRI dengan berbagai keistimewaan dan kekhususan pengelolaan Aceh sebagai salah satu provinsi dari ruang lingkup NKRI dibayar dengan sedikit “perjudian politik” membolehkan partai politik lokal berdiri dan ikut dalam kontestasi pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Partai politik lokal yang diperbolehkan didirikan di NAD ini diasumsikan untuk menampung aspirasi politik eks GAM yang menganggap bahwa partai politik yang ada tidak cukup mampu menampung aspirasi politiknya.
Lahirnya UU No. 18 tahun 2001 dan UU No. 21 Tahun 2001 yang menjadi aturan legal bagi pemberian otonomi khusus bagi NAD dan papua sudah dilakukan. Permasalahan yang muncul kemudian adalah kedua UU tersebut belum cukup memberikan rasa puas politik masyarakat khususnya di Tanah Papua, dimana konflik politik dan bersenjata masih terus berlangsung.
Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009, Tanah Papua digoyang oleh sejumlah peristiwa yang menarik perhatian media nasional. Diawali penggerebekan kantor Dewan Adat Papua (DAP) di Jayapura pada 3 April 2009. Setelah itu Nabire menyusul rusuh pada 6 April. Pada 8 April penyerangan lima tukang ojek pendatang, tiga di antaranya tewas. Tidak berhenti di situ, pada hari H Pemilu, Polsek Abepura diserang oleh massa sekitar 75 orang dan 1 orang tewas. Gedung rektorat Universitas Cenderawasih pun dibakar. Lebih parah lagi, ada upaya pemboman jembatan Muara Tami, dekat perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Dalam Konteks Aceh, kesepakatan Helsinki diasumsikan sebagai dua mata pisau yang mengundang dilema. Pandangan Pertama, keberadaan partai lokal yang kemungkinan akan menjadi kendaraan politik eks GAM, yang sejak awal tidak benar-benar tuntas untuk menjadi bagian dari NKRI. Sehingga ada kemungkinan partai politik lokal tersebut dijadikan pintu masuk untuk membangun dukungan politik agar NAD menjadi satu wilayah yang benar-benar merdeka dan terlepas dari NKRI, sebagaimana tujuan awal dari perjuangan GAM.
Mereka yang berpandangan demikian, menjadikan banyaknya petinggi GAM, seperti Abdullah Zaini - yang bermukim di Swedia- yang turun gunung dan menjadi elit politik yang dielu-elukan masyarakat setiap kunjungan, sebagai indikator.
Sebaliknya Pandangan kedua menempatkan keberadaan partai politik lokalsebagai satu terobosan yang signifikan bagi upaya memperkuat partisipasi dan demokrasi. Keberadaan partai lokal menjadi jembatan politik antara masyarakat dengan elit politik, yang selama ini dapat dikatakan senjang.
Artinya bahwa langkah untuk mendorong perkembangan partai politik lokal di banyak daerah merupakan langkah strategis bagi penguatan eksistensi daerah terhadap pusat, yang ujungnya akan makin membangun kaitan tali-temali politik yang berkesinambungan antara kepentingan politik pusat dan daerah.
Secara historis, partai lokal bukan sesuatu yang baru di Indonesia, pada Pemilu tahun 1955 tercatat sedikitnya ada enam partai politik lokal yang berpartisipasi, yakni: Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Partai Tani Indonesia, Gerakan Banteng, dan Partai Persatuan Daya.
EKSPERIMENTASI POLITIK DAN POLITICAL WILL
Andai ada konsepsi bersama untuk merujuk pada pandangan terakhir di atas, maka Partai politik lokal harus menjadi salah satu agenda penting bagi penguatan partisipasi dan penguatan demokrasi lokal.
Soal kekuatiran bahwa Gerakan Parlok akan berdampak pada diintegrasi bangsa, dan merongrong kedaulatan NKRI, menjadi sinyal bahwa partai politik lokal harus dikemas agar menarik untuk ditawarkan kepada daerah-daerah lain di ruang lingkup NKRI. Langkah ini menegasikan asumsi bahwa partai politik lokal membuka pintu peluang bagi federalisme, ataupun disintegrasi bangsa. Ini berarti keberadaan partai politik lokal tidak hanya ada di NAD, tapi juga (memungkinkan) di Papua
Dalam beberapa pandangan yang dikutip penulis, ada alasan politis yang mengemuka perihal perbedaan pemahaman dan implementasi dalam melihat eksistensi partai politik lokal (khususnya di Papua). Pertama, upaya mengulur-ulur waktu pemerintah diasumsikan akan membuat tuntutan legalisasi partai politik lokal menjadi bias dan tidak focus. Andai pandangan itu benar maka sesungguhnya langkah tersebut (juga) berpotensi menjadi bumerang bagi pemerintah RI, dan dikuatirkan sebagai langkah mundur dari upaya mencari solusi damai di tanah Papua. Apalagi, merujuk pada pandangan Jouwe bahwa Partai lokal (dinilai) menjadi solusi damai antara OPM dan pemerintah.”
Kedua, adanya ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi tuntutan politik lokal, khususnya dari wilayah konflik yang memiliki keinginan yang ekstra dan bersifat khusus. Ketiga, adanya aturan legal yang saling berbenturan satu dengan yang lain menyebabkan adanya perbedaan pemahaman dan implementasi, khususnya pada esensi keberadaan partai politik lokal. Keempat, adanya trauma politik yang menghinggapi pemerintah perihal keberadaan partai politik lokal yang akan mengarah kepada upaya pergerakan tuntutan untuk merdeka, dan memisahkan diri dari NKRI. Trauma politik ini berimplikasi kepada kurang responnya pemerintah dalam melihat esensi dari pembangunan politik lokal
Terlepas dari adanya perbedaan pemahaman itu, upaya untuk mengeksperimenkannya ke daerah-daerah lain harus menjadi satu agenda penting. Sebab partai politik lokal dalam konteks Indonesia menjadi salah satu alternatif pemecahan kebuntuan politik perihal pembangunan dan penguatan politik dan potensi lokal.
Dalam berbagai pengalaman, pelaksanaan pilkada di beberapa daerah di Indonesia, kendati berlangsung aman dan sukses namun bila ditilik tingkat partisipasi politik masyarakat mengalami penyusutan yang signifikan. Golputlah yang sesungguhnya menjadi aspirasi mayoritas. Padahal secara teoretis, dalam fase demokrasi transisi, kurangnya partisipasi politik masyarakat hanya akan mengembalikan sirkulasi dan regulasi politik ke lingkaran segelintir elit politik saja.
Penulis juga mengutip enam pandangan (positif) terhadap eksistensi parlok terutama dalam kaitannya dengan keutuhan NKRI. Pertama, partisipasi politik masyarakat akan tersalurkan dalam wadah dan partai politik yang memiliki warna yang sesuai dengan karakter dan lokalitas daerah dan wilayahnya. Partisipasi politik semacam ini akan makin mendekatkan pemimpin dengan masyarakatnya, sehingga terbangun jembatan politik yang mampu mewujudkan tata kelola kebijakan yang berbasis pada aspirasi politik masyarakat.
Kedua, keberadaan partai politik lokal secara subtansi memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan dan pemerintahan sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya, tanpa campur tangan pemerintah pusat. Karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintah pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut.
Ketiga, rekruitmen politik lebih jelas dan berbasis dari masyarakat sendiri. Rekruitmen tersebut menjadi isu yang signifikan karena kerap kali calon-calon dalam pilkada tidak berbasis di daerah dan wilayahnya, sehingga dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam penguatan politik lokal. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah, akan makin kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada. Dengan berbasis pada dukungan partai politik lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif.
Keempat, partai politik lokal secara prinsip menambah pilihan politik bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya Sehingga yang terbangun tidak hanya sekedar sentimen daerah atau lokal saja yang terbangun, tapi juga pembangunan kesadaran dan pendidikan politik bagi masyarakat perihal calon-calon yang ada. Jika asumsi ini benar maka eksistensi Parlok dapat meminimalisir sentimen kedaerahan yang membabi buta.
Kelima, tereksploitasinya segenap potensi daerah untuk bersama-sama membangun daerah dan wilayahnya secara konstruktif. Dan Keenam, partai politik lokal diasumsikan akan memberikan garansi regenerasi kepemimpinan politik di daerah yang berkesinambungan. Dengan mekanisme ini regenerasi kepemimpinan politik di daerah tidak lagi terinterupsi oleh kepentingan pemerintah pusat atau pengurus partai di tingkat pusat yang hanya akan memaksakan calon-calon dropping dari dewan pimpinan partai atau rekayasa pemerintah pusat.
Dengan pandangan ini maka dibutuhkan setidaknya syarat bagi penguatan demokrasi lokal, yakni melakukan eksperementasi politik partai politik local ke daerah dengan tetap dalam bingkai NKRI, bahkan mungkin tak hanya terbatas pada Papua dan NAD namun juga diuji di wilayah dan daerah lain.Syarat terakhir adalah political will dari pemerintah dan tentu saja elit (partai) politik nasional. Political will ini menjadi satu-satunya celah politik bagi eksistensi partai politik lokal.
1. Aktivis HMI Cabang Manokwari, Jurnalis, bekerja di harian umum Cahaya Papua. Tulisan dikutip dari berbagai sumber.
2. Wacana (Pembentukan MRPB) ini ditentang oleh Ketua DAP, Forkorus Yabuisembut, dan Sekjend PDP, Thaha Al- Hamid, dalam sebuah wawancara dengan penulis dan sejumlah wartawan lainnya di Manokwari, di sela sebuah pertemuan yang diorganisir oleh Komite Nasional Pemuda Papua (KNPP) di Aula UNIPA, Amban Manokwari.
3. Tulisan Muridan dibuat usai menghadiri Lokakarya "Kemajuan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh menurut UU Nomor 11 Tahun 2006" pada 19 November di Banda Aceh. Lokakarya ini merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Aceh dan LSM Jerman GTZ Algap II. Selain mengevaluasi pelaksanaan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada juga presentasi tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Yogyakarta oleh pejabat Departemen Dalam Negeri. Muridan, diundang resmi dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, untuk menghadiri lokakarya itu. Pandangan , Gabrielle Ferrazzi, juga dikutip dari catatan ini.
4. Hal itu diungkapkan Frans Albert Joku, salah satu negosiator pemerintah yang menemui Nicholas Jouwe di kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di Jakarta, Jumat (20/3). “Permintaan itu disampaikan Nicholas dalam butir perdamaian dengan pemerintah,” kata Joku. Terkait perundingan itu, Menkokesra RI, Aburizal Bakrie sebagai fasilitator pertemuan mengatakan, perundingan ini adalah langkah awal mendapatkan solusi bersama. Dia berharap konflik antara OPM dan pemerintah dapat diselesaikan.
Kontributor
About me
Labels
- 5 SR (1)
- Abraham O. Atururi: Campaign? “I Do Everyday” (1)
- Arsuamon (1)
- B (1)
- Batasi Industri Besar Dalam Kawasan TNTC (1)
- BB-TNTC (1)
- BPK Focus ke Badan Keuangan (1)
- BPK RI Perwakilan Papua Barat (1)
- Bupati Fak-fak Berhetikan tujuh pegawai (1)
- Bupati Manokwari (1)
- C. (1)
- Caleg Ancam Tutup KPU (1)
- Caleg Cabut Pompa Air (1)
- DPRD Manokwari Kembalikan Delapan Raperda non APBD (1)
- Dua Warga Brawijaya Dihajar Oknum Polisi (1)
- Dua Warga Dibacok Orang Tak Dikenal (1)
- Enam Nelayan China Diamankan Patroli TNI AL (1)
- FORKLIP Minta KPU Transparan Soal DPT (1)
- Generasi Baru Obat Malaria Diperkenalkan (1)
- Hak Politik Narapidana (1)
- Hanura – Golkar Papua Barat Bentuk Tim Sukses JK-Win (1)
- HIV/ AIDS Sulit Dikontrol (1)
- Industri Ekstraktif (1)
- INFRASTRUKTUR (1)
- Insiden Merpati (1)
- Jalan – Jalan ke Lima – Lima (1)
- Kasus Penganiayaan Jurnalis (1)
- Kebudayaan dan Pariwisata (1)
- Kecewa (1)
- Kejaksaan Segera Limpahkan Kasus Block Grant 2006 (1)
- Kejaksaan Temukan Kejanggalan Anggaran Ujian Paket A (1)
- Kemarin (1)
- Konsolidasi Beringin Rapuh (1)
- KPUD Bantah “Sunat” Suara Killian (1)
- KPUD Sediakan Insentif Bagi PPDP (1)
- Lapas - Makar (1)
- Lokalisasi 55 Maruni (1)
- Lokalisasi Ditutup (1)
- Makanan mengandung lemak babi (1)
- Manokwari Diguncang Gempa 5 (1)
- Menduga Tercemar Oli (1)
- Opini Rencana Penutupan 55 - Maruni (1)
- PAN Papua Barat Tetap Dukung SBY – Budiono (1)
- Papua Barat Tak Lagi Eksport Bahan Mentah (1)
- Partai Lokal Papua (1)
- Pemprov Tak Terima PNS Pindahan (1)
- Penangkapan Nelayan China (1)
- Pengguna ARV Kurang Disiplin (1)
- Pengusaha Korea Minati Semen Maruni (1)
- Pileg 2009 (1)
- PILPRES 2009 (2)
- Politik (1)
- Puluhan Mami 55 Bertamu ke Dinas Sosial (1)
- Puluhan Perawat Puskesmas Warmare Datangi Kejaksaan (1)
- Pustu Terlantar di Saubeba (1)
- Ransiki Tegang (1)
- Raperda Kota Injil Dibahas Khusus (1)
- Relokasi Korban Gempa dan Kebakaran (1)
- Rencana Penutupan Lokalisasi 55 Maruni (1)
- Saat sumberdaya menjadi Kutukan (1)
- sopir angkot protes pungli (1)
- studi lingkungan masih diabaikan (1)
- Suara Jeblok (1)
- Suku Wamesa Usung Wacana Pembentukan Provinsi Nueva (1)
- Tapol (1)
- TELUK SAWAIBU (2)
- Tim Pemenang JK-WIN akan Dilantik Surya Paloh (1)
- Ujian Akhir Nasional (2)
- Warga Palang Bengkel di Obsi Borobudur (1)
Text
Webmaster : Duma T. Sanda
Fotografer : Pandu Aswara
Kontributor : Patrix (Pegunungan Arfak)
Duma (Kota)
Toyib (Wosi)
Ignasius Ariyanto (Daratan Prafi-Masni)
Dina (Kampus-kampus dan NGO)
Berita diblog ini selain bersumber dari reportase
jurnalis yang tergabung dalam Berita Manokwari,
dan Media-Media Lokal di Manokwari.
Situs Berita Manokwari dikelola secara swadaya
untuk membantu penyebaran informasi publik
di Manokwari dan sekitarnya.
Redaksi menerima artikel, berita, foto dan saran
dari pembaca yang terkait dengan pemberitaan.
Silahkan kirim
ke email, barumbuntandirerung@yahoo.com
Seluruh isi berita/artikel merupakan
tanggungjawab masing-masing penulis yang
berkontribusi di newsblog Berita Manokwari.
0 komentar: