BERITA MANOKWARI

KOMUNITAS PENA

Subscribe

Rencana Penutupan Lokalisasi 55 Maruni

Diposting oleh sdhuma on Minggu, 17 Mei 2009

Pertaruhan itu Resahkan Ratusan Manusia

Rencana penutupan lokalisasi 55 Maruni terus menggelinding di tengah rasa kalut ratusan jiwa. Rencana ini menyangkut nasib 397 pemukim kawasan lokalisasi, termasuk di dalamnya 161 Pekerja Seks Komersial.
Ini soal hidup mahluk Tuhan yang bernama manusia.

PROSTITUSI di Kabupaten Manokwari, tak hanya terjadi di lokalisasi 55 Maruni. Apa yang selama ini berlangsung di sana cuma bagian kecil dari praktek komersialisasi seks di Ibukota Provinsi Papua Barat.
Sejatinya, komersialisasi seks lebih banyak dilakoni Pekerja Seks Komersial Jalanan atau PSKJ. Menurut data terakhir aparat RT IV Maruni, Sabtu (16/5), jumlah PSK di lokalisasi 55 hanya berjumlah 161 orang.
Sementara di jalanan, menurut data Perkumpulan Terbatas Peduli Sehat (PTPS) Manokwari, jumlah PSKJ lebih dari 400 orang atau lebih banyak dibanding jumlah pemukim di lokalisasi 55.
Angka ini belum termasuk PSKJ yang belum terdata karena aktivitasnya dilakukan secara sembunyi – sembunyi atau terselubung. PSK panggilan yang melayani tamunya di tempat lain yang disepakati, masuk dalam kategori ini.
Dengan perbandingan itu, aktivis PTPS, Teguh, meminta pemerintah lebih dulu mempertimbangkan rencana penutupan lokalisasi 55 Maruni dengan cermat dan matang, terutama dampaknya.
“Harus difikirkan, apakah penutupan ini sekaligus mengakhiri aktivitas prostitusi, ataukah hanya mengutamakan image,” ujarnya saat menghadiri pertemuan antara pihak Pemkab Manokwari yang diwakili Kepala Dinas Sosial, Al Jabar Makatita, dengan puluhan pemilik wisma dari lokalisasi 55 di ruang rapat kantor Dinas Sosial Manokwari, Jumat (15/5) siang lalu.
Kondisi yang melatarbelakangi dilokalisirnya para PSK di Maruni pada tahun 1985 lalu, tambah pria berbadan tambun ini, mesti jadi bahan pertimbangan pemda saat ini.
Dalam kaca mata pemerintah, rencana penutupan lokalisasi 55 Maruni adalah pertaruhan soal citra religius Kota Manokwari.
Roberth Hammar, Staf Ahli Bupati Manokwari Bidang Politik, Hukum dan HAM, mengaku, rencana ditutupnya lokalisasi adalah konsekuensi dari identitas dan citra Manokwari sebagai kota Injil.
“Yang bertentangan dengan Injil tidak boleh ada di Manokwari,” kata Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, tempo hari lalu soal rencana ini. Sementara Roberth Hammar mengatakan, “Jika lokalisasi tersebut tetap dipertahankan, tidak ada gunanya raperda kota Injil dibuat.”
Rancangan peraturan daerah, soal penataan Manokwari sebagai kota Injil, sedang dibahas di DPRD Manokwari. Pasal 29 dan 30 dalam ranperda itu dipersiapkan menjadi dasar hukum penertiban tempat – tempat prostitusi.

Butuh Solusi
Secara ekonomi, ketergantungan warga pada pada hasil usaha yang mereka kelola di lokalisasi sangat tinggi. Mereka hidup dari uang yang berputar dari bisnis esek – esek, kios kelontong, warung, karaoke dan (terkadang) judi.
PSK dan warga lain juga berhutang kepada koperasi simpan pinjam. Perkiraan minimal, uang koperasi yang beredar di lokalisasi ini mencapai 280 juta rupiah per bulan. Semua ini adalah hutang berbunga tinggi.
Dengan alasan ekonomi, warga setempat pada dasarnya menyayangkan rencana itu karena belum ada sebutir solusi yang mereka dengar dari pemerintah tentang (bagaimana) nasib mereka kelak, andai lokalisasi benar – benar ditutup.
“Ini menyangkut hidup ratusan jiwa yang butuh makan di sini. Jadi tidak bisa seenaknya begitu,” ujar Fredy Lutlutur, Ketua RT setempat, mewakili sikap warganya, usai memimpin rapat di balai pertemuan lokalisasi Maruni, Jumat lalu.
Tak disangkal, aktivitas prostitusi dan PSK umumnya hanya dinalarkan menurut selera yang sempit. Tafsir ini dipengaruhi nalar feodalisme, melalui kehadiran gundik atau selir. Atau nalar ala tentara Nippon yang meniscayakan kehadiran Jugun Ianfu.
Dengan demikian, eksistensi PSK hanya dipandang sebagai mahluk pemuas nafsu dan penegas budaya patriarki. Padahal ihwal menjadi PSK, lebih banyak karena faktor ketidakadilan dan kemiskinan.
“Tidak ada satu manusia pun yang ingin jadi PSK. Atau menginginkan anaknya jadi PSK. Mereka begitu karena ketidak berdayaan ekonomi dan desakan sosial. Tuntutan ekonomi tinggi sementara lapangan kerja sempit. Faktor kekerasan, serta minimnya pengetahuan dan keterampilan, juga menjadi sebab utama,” urai Teguh.
Di satu sisi, meningkatnya jumlah pekerja seks dan pemakai jasa pekerja seks dan tingginya prostitusi merupakan tanggung jawab pemerintah. Teguh mengatakan, “mereka merupakan korban pembangunan. Sehingga yang harus diselesaikan adalah akar masalahnya.”
Pro kontra soal rencana ini terasa wajar apalagi iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat mulai sejuk di Tanah ini. Betapapun sengitnya sebuah perdebatan, kebijakan yang dihasilkan haruslah menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan.
Kebijakan publik yang baik meniscayakan bahwa manusia yang terlibat didalamnya tak sekedar menjadi obyek. Manusia siapapun merasa penting diperlakukan adil. (m’bun)

0 komentar: