BERITA MANOKWARI

KOMUNITAS PENA

Subscribe

Opini Rencana Penutupan 55 - Maruni

Diposting oleh sdhuma on Minggu, 17 Mei 2009

Teguh
Perkumpulan Terbatas Peduli Sehat (PTPS) Manokwari.

“Tak ada gunanya menutup lokalisasi 55 tanpa perencanaan dan tindakan komprehensif yang nyata. Hanya akan memperburuk keadaan Manokwari yang semakin marak dengan aktivitas prostitusi dan pelecehan seksual.
Beberapa tempat di Papua memang tidak punya lokalisasi semacam 55, tapi aktivias prostitusinya berlangsung di rumah –rumah kos atau warung remang – remang. Apakah ini tidak lebih berbahaya??.
Yang harus diselesaikan adalah sumber masalahnya yakni kemiskinan, kebodohan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Mari selesaikan dan hentikan aktifitas prostitusi dengan arif dan bijaksana.
Prosesnya harus baik sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar, perlu diingat, menyelesaikan satu masalah sosial dengan tidak bijak akan menimbulkan masalah sosial lainnya.” (m’bun)

Yogi Marianto
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua Barat.

“Penutupan lokalisasi 55 di Maruni tak bisa menyelesaikan masalah HIV/ AIDS di Manokwari, sebaliknya, upaya pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS akan mendapat tantangan dan masalah serius.
Penutupan lokalisasi akan diikuti peningkatan jumlah lokasi – lokasi praktek seks komersial terselubung terutama di kota Manokwari. Dengan demikian penyebaran HIV/ AIDS sulit dikontrol.
Jauh lebih baik, jika praktek komersialisasi seks dilokalisir seperti saat ini. Sebab kebijakan penanggulangan HIV/ AIDS, bisa diberlakukan secara lokal di lokalisasi.. Misalnya aturan pakai kondom.
Lagi pula, latar belakang dilokalisirnya aktivitas PSK di Maruni, di pertengahan tahun 80-an dimaksud untuk meminimalkan jumlah lokasi – lokasi yang dulu banyak terdapat di kota Manokwari.
Pada prinsipnya, kami memandang bahwa rencana ini bukan solusi yang baik terutama dalam hal pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS.” (m’bun)

Roberth K.R Hammar S.H M.H
Staf Ahli Bupati Manokwari Bidang Hukum dan Politik

“Rekomendasi tim legislasi soal penutupan lokalisasi 55 Maruni telah dipikirkan mendalam dan menyeluruh mulai dari penyakit sosial, penegakan hukum, dan kaitannya dengan subtansi raperda kota Injil.
Ada dua subtansi hukum yakni alat rekayasa sosial yang berfungsi mengubah perilaku masyarakat dan alat kontrol sosial.
Pemerintah membuat regulasi untuk mengubah perilaku masyarakat menjadi baik. Anggapan bahwa membiarkan lokaliasasi tetap ada agar tak terjadi pemerkosaan boleh saja, namun tidak ada ciri sosial yang jamin jika lokalisasi ditutup, pemerkosaan tak terjadi.
Semua kembali ke perilaku individu masing-masing. Publik pun harus paham bahwa rencana ditutupnya lokalisasi bukan karena penyakit HIV/AIDS, namun sebagai konsekuesi Manokwari sebagai kota Injil. Jika lokalisasi dipertahankan, tidak ada gunanya raperda kota Injil.” (ney/m’bun)

Ibu Sutini
Pemilik Wisma di Lokalisasi 55 Maruni

“Kami sudah dipinggirkan ke pinggir kota, kenapa mau dikorek – korek lagi. Kalau bisa pertahankan lokalisasi karena menyangkut masa depan anak – anak dan masyarakat. Lagi pula di sini sudah iijinkan.
Pemeriksaan kesehatan rutin dua kali seminggu. Tiga bulan sekali bahkan ada pemeriksaan sampel darah. Di sini, tiap PSK yang datang, belum langsung diijinkan praktek. Harus tes darah dulu, kalau sehat, bisa.
PSK wajib pakai kondom, kalau tamu mau ya nggak boleh dilayani. Tapi kadang tamunya marah – marah, katanya kurang enak. Kalau ditolak, (me)mukul.
Masyarakat di kota jangan selalu salahkan PSK, sebab kita tak pernah panggil bapak – bapak ke sini, mereka sendiri yang datang. Soal PSK Maruni yang praktek di kota itu tidak betul.
Yang praktek di kota memang pernah praktek di sini, tapi sudah dikeluarkan, makanya keliaran di kota. Kami sarankan, kalau bisa panti pijat yang buka praktek prostitusi dikumpul aja di sini jadi satu. (m’bun)

0 komentar: