BERITA MANOKWARI

KOMUNITAS PENA

Subscribe

Saat Sumber Daya Menjadi Kutukan

Diposting oleh Berita Manokwari on Sabtu, 30 Mei 2009

Manokwari- Korelasi antara eksploitasi sumber daya alam (SDA) dengan penciptaan kesejahteraan rakyat di Papua dan Papua Barat belum terlihat nyata.
Karenanya, pembayaran pendapatan negara oleh perusahaan (kepada pemerintah) yang bergerak pada sektor industri ekstraktif semisal tambang, minyak dan gas sudah saatnya dilakukan secara terbuka dan bertanggungjawab.

Melimpahnya SDA yang dikelola berbagai perusahaan di Indonesia khususnya di Tanah Papua awalnya menjadi harapan. Namun buruknya tata kelola membuat kelimpahan itu berbalik (seolah) menjadi kutukan.
Kondisi ini dibahasakan para praktisi pembangunan dan akademisi sebagai kutukan sumber daya (resource curse) dan keanehan dalam keberlimpahan (Paradox of plenty).
Secara kongkrit, ini terlihat dari tingginya angka kemiskinan, dan pengalaman konflik yang tak luput dari persoalan kendali dan pemafaatan sumber daya.
“Orang Papua tetap miskin dan menderita di atas kekayaannya, ini kontradiksi yang luar biasa,” sebut Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua, Septer Manufandu dalam seminar dan lokakarya Mendorong Transparansi Pengelolaan Industri Ekstraktif di Papua dan Papua Barat, Selasa (26/5) di Hotel Triton Manokwari.
Menurut Septer, menyandarkan pembangunan daerah pada industri ekstraktif tanpa tata kelola yang benar juga memperburuk sektor ekonomi lainnya, mengurangi derajat akuntabilitas pemerintah terhadap warga, dan pada gilirannya meningkatkan kecenderungan perilaku korupsi.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia ; sebuah koalisi masyarakat sipil untuk transparansi sektor ekstraktif, Riyada Laodengkowe, berpendapat, pembayaran pendapatan (revenue transfer) dari perusahaan industri ekstraktif kepada pemerintah dan pengelolaannya merupakan kunci persoalan ini.
“Persoalan pokok sektor ini adalah tidak adanya akuntabilitas penerimaan negara dari industri ekstraktif,” sebutnya.
Publikasi laporan Global Witness 1999 yang berjudul A Crude Awakening layak menjadi bahan pembelajaran dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara dari sektor Industri Ekstraktif di Indonesia.
Laporan ini mengungkap kompleksitas pembiayaan industri minyak dalam penjarahan aset – aset negara selama 40 tahun periode perang sipil di Angola, dan menyimpulkan bahwa penolakan perusahaan - perusahaan minyak besar untuk mengumumkan penerimaan negara yang mereka bayar, membantu penyalahgunaan pendapatan negara dari minyak yang dilakukan oleh elit negara itu.
Laporan tersebut ditutup dengan sebuah tuntutan agar perusahaan – perusahaan minyak di Angola mengumumkan apa yang mereka bayar kepada pemerintah.
“Kita bisa berkilah bahwa Indonesia tak seburuk Angola. Tapi persoalannya tetap sama ; tak ada transparansi. Sehingga dari sudut pandang apapun, transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif secara umum berikut aliran pendapatan negara dari sektor ini tak hanya relevan, tapi juga mendesak,” urai Riyada.

Mekanisme
Secara tehnis, model transparansi dan akuntabilitas tersebut (oleh perusahaan swasta nasional, internasional serta juga BUMN dan BUMD) dilakukan dengan membuka data semua jenis pembayaran kepada pemerintah di setiap tingkatan, setiap tahun. Misalnya pajak, royalti, bonus, bagi hasil, fee dan sebagainya.
Sementara pemerintah melakukannya dengan mensyaratkan dibukanya pembayaran oleh tiap perusahaan, mengumumkan berapa penerimaan dari setiap perusahaan dengan terperinci, mengadakan audit secara independen atas laporan versi perusahaan dan pemerintah dengan standar Internasional khususnya Extractive Industries Transparency Initiative (EITI).
Pemerintah pun mesti membuat mekanisme dan proses anggaran yang terbuka dan partisipatif di seluruh level pemerintahan.
Sementara Lembaga – lembaga keuangan multilateral termasuk Bank Dunia, IMF, SDB, Export Credit Agencies dan bank – bank swasta penting untuk mensyaratkan perusahaan industri ekstraktif agar terlibat dalam upaya untuk mendorong tata kelola yang ideal itu. “Hal itu bisa dijadikan prasyarat bagi skema pembiayaan yang mereka danai,” pungkas Riyada.
Kepala Bidang Produksi Minyak Bumi Kedeputian Bidang Koordinasi ESDM dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Ir Edward Sibarani, MBA mengatakan, pemerintah telah membentuk sebuah tim yang menggodok draft peraturan presiden tentang transparansi pendapatan negara yang diperoleh dari industri ekstraktif.
“Mudah – mudahan perpresnya selesai dalam waktu dekat, dan bisa diserahkan kepada pemerintahan yang baru, usai Pilpres. Peraturan itu akan difokuskan pada sektor migas dan tambang mineral,” jelasnya. (m’bun)

0 komentar: