BERITA MANOKWARI

KOMUNITAS PENA

Subscribe

Pembelajaran Kontekstual

Diposting oleh Berita Manokwari on Minggu, 13 September 2009

Pengetahuan Baru di Dapur Berita

“Saya mendapat pengetahuan baru tentang proses pembuatan surat kabar.”
-------------------
Oleh: Eka Fitriani,Junaidi Aziz, Andi Kaharuddin

Kalimat di atas dikutip dari laporan Junaedi Azis, salah satu siwa SMU Yayasan pendidikan Islam (Yapis) Manokwari. Junaidi dan 19 rekannya yang lain diserahi tugas membuat sebuah laporan jurnalistik oleh awak Redaksi Cahaya Papua, usai berkunjung ke redaksi, Sabtu (12/9) lalu.


Kunjungan itu sekaligus menjadi proses pembelajaran kontekstual yang dibimbing seorang guru Bahasa Indonesia,Mirnawati,S.Pd. Mereka ingin melihat dari dekat bagaimana proses kerja penerbitan surat kabar, manajemen redaksi dan jurnalisme.
Terkadang melihat sebuah proses dengan langsung memang jauh lebih baik, ketimbang berkutat dengan teori.
Kedatangan mereka, sekitar pukul 10.00 wit disambut hangat para awak media ini. Usai berkenalan dengan awak redaksi, mereka kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Setiap kelompok bergiliran mengunjungi ruang redaksi, lay out (desain) dan percetakan, dibimbing seorang guru dan dua redaktur CP.
Mereka tak hanya mengamati, namun juga kerap melontarkan pertanyaan, baik menyangkut proses kerja jurnalistik, hingga manejemen redaksi.
Di ruang redaksi muncul pertanyaan, semisal, “Apakah wartawan Cahaya Papua juga meliput kematian Michael Jackson?soalnya beritanya ada di koran ini.” Atau, “Apa syarat menjadi wartawan?” Ada juga yang kritis, “Apa boleh wartawan menerima imbalan dari narasumber?”
Muncul juga pertanyaan, “bagaimana membuat laporan jurnalistik?”. Pertanyaan terakhir membuat para pelajar ini diserahi tugas membuat laporan jurnalistik. Tentu saja usai dibekali dasar-dasar jurnalistik. Sebagai pemula, laporan mereka cukup memikat.
Andi Kaharuddin, salah satu siswa dalam laporannya menyimpulkan, manajemen redaksi meniscayakan peran penting redaktur dan wartawan.
Sebetulnya, pendapat ini tak salah namun tak selamanya benar, sebab bagaimanapun di luar redaksi, sebuah perusahaan media massa melibatkan berbagai divisi, sebut saja pemasaran dan lay out. Sebagai institusi bisnis, media maassa juga membutuhkan sumber uang untuk tetap eksis. Lahirlah divisi iklan.
Ibarat dua mata sisi uang : ada idealisme pers dan orientasi profit sebuah perusahaan. Dua hal ini hanya dipisahkan oleh etika yang dalam dunia jurnalistik disebut Pagar Api. Tak ada Intervensi antar dua hal ini.
Pendapat Kaharuddin, didasarkan pada proses perencanaan hingga masuknya sebuah laporan jurnalistik ke ruang lay out (desain) percetakan dan akhirnya dijual ke publik dalam bentuk koran.

Sebelum mencari berita, biasanya para wartawan dan redaktur melakukan meeting pagi untuk menentukan topik berita tiap pos, hal itu berlangsung tiap hari, kecuali hari Minggu.
Meeting digelar di ruang rapat yang tak terlalu lapang, sekitar 3X4 meter. Di ruangan ini para wartawan berkumpul untuk bertukar pikiran. Dan menetukan berita apa yang akan ditulis.
Setelah itu, wartawan dan redaktur menjalankan tugas masing-masing : wartawan turun memburu berita, redaktur mengarahkan wartawan, dan menunggu berita untuk diedit. Semua diatur dalam rentang waktu tertentu. Para wartawan wajib menyerahkan laporannya ke redaktur pada pukul 17.00 WIT. Ini disebut deadline, roh sebuah dapur redaksi.
Proses editing berlangsung malam hari. Setelah itu redaktur rapat menentukan kelayakan berita yang akan diangkat.
Dalam kunjungan ini para pelajar juga mendapat penjelasan bahwa tak semua laporan jurnalistik wartawan bisa dimuat. Laporan itu mesti memenuhi beberapa syarat utama yakni mengandung unsur baru, penting menyangkut kepentingan publik dan menarik. Dengan begitu masyarakat mendapat informasi, edukasi dan hiburan dari surat kabar.
Sebuah berita juga mesti memaparkan fakta yang akurat dan berimbang. Ini parameter kredibilitas media. Agar terlihat menarik, koran harus di desain seindah mungkin. Ini tugas divisi lay out.
Mereka juga mendapat sejumlah penjelasan bahwa melihat dengan langsung proses pencetakan koran di ruang percetakan CP, sesaat sebelum mereka beranjak pulang.

Di ruang ini mereka mengaku mendapati proses kerja yang rumit. Pencetakan dilakukan dalam dua tahap. Tahap awal untuk halaman berwarna, hal 1 dan 16. Caranya, kertas A3 dari lay out disambung dan dipotong seperlunya, termasuk penyesuaian ukuran.
Kertas lantas ditempel pada sebuah plat seng, lalu dibakar agar tulisannya dapat menempel pada seng. Sebelum dimasukkan dalam mesin cetak.
Hal itu dilakukan sebanyak tiga kali, butuh waktu 30 menit, hingga tercipta halaman berwarna,bagian depan dan belakang, seperti itulah. Semua itu diolah dalam sebuah mesin yang tergolong tua. Jika salah satunya “ngadat” terpaksa tampilan koran ini apa adanya, Hitam Putih.
Penjelasan yang membuat mereka memahami mengapa koran ini terkadang beraneka berwarna dan kadang hanya berwarna hitam putih.
”Rumit ya kak,” kata seorang siswi, Eka Fitriani kepada seorang kru percetakan, Samara. “Siapa bilang gampang dek (mbu’n/dhs/CP)

0 komentar: